Catatan Olahraga Nasional
Bagian-1
SETIAP ZAMAN ada orangnya, setiap orang ada zamannya. -anonim-
VEDDRIQ LEONARDO dan RIZKI JUNIANSYAH, itulah atlet terhebat saat ini. Keduanya baru saja mengharumkan nama bangsa setelah dua medali emas mereka persembahkan di Olimpiade, Paris, 2024.
Lalu, siapa pelatih terhebat di tanah air? Jawabnya juga sederhana: Hendra Basri (Panjat Tebing) dan Muhammad Rusli (Angkat Besi). Kemudian, Ketua Umum cabang olahraga mana yang terhebat, juga di tanah air? Saya tidak ragu untuk menyebut Yenny Wahid (FPTI) dan Rosan Roeslani, ketua umum (PB PABSI).
Siapa Chief de Mission (CDM) tersukses saat ini? Tidak butuh waktu lama untuk menyebut Anindya Bakrie. Tentu juga Dito Ariotedjo, saya sebut sebagai Menpora tersukses, paling tidak dalam 20 tahun terakhir.
Kontingen Indonesia 1992, Olimpiade Barcelona, menghasilkan (2-1-1) dari cabor bulutangkis, Susi Susanti dan Alan Budikusuma dari tunggal putri dan putra. Saat itu menporanya adalah Akbar Tanjung.
Selebihnya kita hanya mampu meraih 1 emas, kecuali Olimpiade Seoul, 1988, panahan membuka tabir dengan persembahan perak. Di Olimpiade London, 2012, kita hanya mampu meraih 2 perak dan 1 perunggu.
Jika saya menyebut semua kehebatan di atas, bukan berarti saya mengecilkan ke-27 atlet, serta pelatih-pelatih cabor lain yang gagal meraih medali, sama sekali tidak. Dari lubuk hati saya yang terdalam, rasa hormat dan bangga saya persembahkan untuk mereka semua.
Mereka telah berjuang begitu keras. Dan, jangankan lupa, tidak semua atlet bisa tampil di olimpiade. Itu saja cukup untuk mengatakan bahwa mereka adalah sekumpulan atlet hebat.
Begitu pun, saya juga tidak ingin menyebut para atlet, bahkan ratusan ribu anak-anak Indonesia yang berkecimpung di dunia olahraga tapi belum atau tidak sempat tampil di pesta olahraga tertinggi di dunia itu, sebagai atlet tidak hebat. Begitu mereka menetapkan diri menjadi atlet, di mana pun mereka berada, kekaguman dan rasa hormat saya amat tinggi.
Tetap bangga dan hormat
Jujur, anak-anak Indonesia, yang mau menceburkan diri di dunia olahraga (amatir), masa depannya, belum terjamin. Bahkan, banyak contoh para mantan atlet yang di masa tuanya, hidup sangat susah. Ini saja sudah membuat kekaguman saya serta rasa hormat saya begitu tak terhingga.
Begitu juga dengan orang-orang yang mengkhususkan diri menjadi pelatih. Lagi-lagi, banyak kasus di mana para mantan pelatih top, hidup dalam kesengsaraan. Jangankan setelah masa pensiun, saat masih berjaya pun, para pelatih kita tidak memperoleh penghargaan yang terbaik.
Sama seperti para teknokrat kita, begitu dihadapkan dengan orang-orang dari luar negeri, penghasilan langsung jomplang. Tidak jarang, dengan kemampuan yang sama gajinya bak bumi dan langit.
Demikian juga para ketua cabor di Indonesia, khususnya cabor yang jauh sentuhan bisnis. Mereka pasti berjibaku untuk bisa menghidupi cabor-cabor mereka. Tidak jarang mereka harus berdarah-darah.
Jika gagal, sering mereka dimaki, dihina, bahkan difitnah dengan cara keji. Tapi, jika berhasil, mereka tidak dianggap sebagai apa pun. Tidak seorang yang mau menyebutnya memiliki andil besar dalam keberhasilan. Resiko maut ini pun mereka ambil apalagi jika bukan demi bangsa dan negara.
Jadi, dengan posisi seperti itu, sekali lagi, rasa bangga dan hormat saya tetap sama. Bahwa saya menyebut Veddriq dan Rizki, Basri dan Rusli, lalu Yenny dan Rosan, itu terhebat saat ini, itu semata-mata karena keberhasilannya meraih medali emas olimpiade.
Bersambung….
M. Nigara
Wartawan Olahraga Senior